Georgetterox

October 30, 2010

Protected: Suatu Sore di Rumah Hantu

Filed under: Uncategorized — Vicky Laurentina @ 4:16 pm

This content is password protected. To view it please enter your password below:

July 31, 2010

Full House di Bandung

Filed under: tips n trick — Vicky Laurentina @ 4:56 pm

Selamat datang di Bandung. Kalau nggak perlu-perlu amat, nggak usahlah ke Bandung weekend begini. Soalnya ke Bandung itu, susah masuk susah keluar. Saya nggak becanda lho, mau masuk ke Bandung dari barat kan mesti lewat Pasteur. Tuh pintu gerbang tol Pasteur aja macetnya bisa sampek sekilo. Lha keluarnya juga susah, soalnya macetnya amit-amit, nggak via barat nggak via utara ya sami mawon.

Beberapa hari lalu saya nyariin hotel buat Mbak Reni Judhanto yang weekend ini mau ke Bandung buat acara di Dago. Jadi saya berusaha nyari hotel di Dago juga. Maka saya bukalah database hotel-hotel yang saya punya, mulai dari Foursquare sampek halaman kuning. Terus saya telfonin satu per satu. Eeh, tiap kali saya ngomong sama resepsionis, mesti njawabnya “sudah penuh”.

Edun, bahkan saat saya putus asa kehabisan hotel bintang empat dan akhirnya mulai nelfon hotel melati, tetep aja resepsionis hotel melati bilang “sudah penuh”. Maka mulailah saya putar otak nelfon hotel yang bukan di jalan Dago, tapi saya cobain ke area sekitarnya seperti Jalan Ciumbuleuit atau jalan Riau. Teteep..aja, jawabnya “sudah penuh”. Dooh..waktu saya nelfon itu kan baru hari Rebo, dan saya minta kamar buat tanggal 30-31. Itu kan tanggal tuwek, mosok udah penuh juga sih??

Tapi pencarian bukannya tanpa hasil. Saya berhasil nemu yang kamar kosong juga, dan ternyata saya dapetnya kamar-kamar bertipe grande macam suite room, executive room, penthouse, dan harganya melonjak di kawasan harga jutaan. Malah ada ynag njawab gini, “Kami masih punya kamar, Bu, berupa kamar tipe honeymoon. Tarifnya Rp 2.4xx.xxx..”

Batin saya, “Gw ketimbang honeymoon buka kamar di hotel Bandung, mendingan gw honeymoon di kamar gw ajah. Masakan nyokap gw lebih enak ketimbang masakan hotel..”

Hehehe..untunglah Mbak Reni ternyata minta channel lain buat nyariin hotel, dan akhirnya dapet sebuah kamar di hotel yang cukup bonafid di Dago.

Ternyata, orang-orang hotel itu kadang-kadang suka main curang juga, suka bilang “sudah penuh”, tapi sebenarnya mereka masih punya kamar kosong kalau cuman satu-dua. Mungkin buat tamu dadakan yang langsung dateng on site. Supaya mereka bisa melambungkan harga ke level yang tidak masuk akal.

Tips buat nginep di Bandung:
1. Tentukan dulu kalau mau ke Bandung tujuannya mau ke mana sih. Usahakan cari hotel yang terarah deket tempat tujuan utama kita. Jangan rencana mau ke Ciwidey tapi nginepnya di Setiabudi. Jauh bo’.
2. Kalau nelfon hotel, resepsionisnya suka nanya duluan, butuh kamar berapa. Jangan pernah jawab satu kamar biarpun Anda memang cuman dateng seorang diri. Bilang aja cari 3-4 kamar, baru dia mau kasih harga yang masuk akal. Nanti kalau udah tercapai harga yang Anda inginkan, baru Anda bilang kalau Anda cuman butuh satu kamar aja.
3. Usahakan pesan kamar jauh-jauh hari, kalau perlu paling telat dari H-7.

Saya taruh foto kopi darat saya dengan Mbak Reni di sini, sebagai bukti autentik bahwa pemilik blog Georgetterox dan Catatan Kecilku memang hidup, hehehe. Mudah-mudahan kita bisa kopi darat lagi lain kali ya. Oh ya, ini pertama kalinya saya kopi darat tapi nggak minum kopi..

July 29, 2010

Ketika Empet sama Tetangga

Filed under: tips n trick — Vicky Laurentina @ 8:52 pm

Punya tetangga yang rese kadang-kadang bisa sangat menyebalkan, tapi bagian paling menyebalkannya adalah kita nggak bisa memilih mau bertetangga sama siapa, dan situasi mengharuskan kita mesti bertetangga dengan orang itu. Saya kepikiran ini waktu tadi pagi saya baca tweet seorang teman. Dia ini lagi nginep di rumah sakit buat nemenin maminya yang lagi diopname. Dan dia mengeluh bahwa tetangga yang dirawat di tempat tidur sebelah tempat tidur maminya, berisik banget, kalau ngomong tuh kenceng.

Sebagai dokter saya ngerti bahwa ketika seorang pasien mesti diopname, kadang-kadang pasien dan keluarganya frustasi. Mulai dari makanannya nggak enaklah, rumah sakitnya nggak homy-lah, sampek keluhan harus berbagi kamar dengan pasien lain. Saya perhatiin memang tingkat stress pasien yang tidur di satu kamar berisi delapan pasien tentu lebih tinggi ketimbang pasien yang tidur di satu kamar untuk satu pasien. (ya iyalaah..semua orang juga tahu itu!)

Saya jadi inget waktu beberapa tahun yang lalu saya kerja di sebuah rumah sakit, di mana waktu itu saya bertugas ngopname dua orang pasien pengidap TBC. Sebut aja yang satu namanya pasien X dan yang satu lagi namanya pasien Y, dan mereka dirawat pada tempat tidur yang bersebelahan. Pada suatu pagi nyokapnya pasien X mendatangi saya, dan dengan takut-takut dia berkata, “Dokter, maaf, saya mau bawa anak saya pulang.”
Saya memandang si ibu. “Lho, kenapa? Anaknya kan masih sakit perut?” Itu TBC-nya sudah menjalar dari paru ke usus.
Nyokapnya nampak ragu-ragu, lalu akhirnya berbisik, “Iya sih. Tapi masalahnya..anak saya nggak tahan di sebelah orang itu..”
Saya langsung tersenyum, berusaha keras nggak ketawa.

Jadi gini lho, pasien Y itu lagi sakit parah. TBC-nya dari paru, sudah sampek ke otak, sehingga selaput otaknya rusak. Akibatnya sarafnya pun ikutan rusak, sehingga dia nggak bisa mengontrol buang airnya sendiri. Ujung-ujungnya, dia pun nggak sadar kalau dia pup. Siyalnya istrinya nggak bisa pasangin popok dengan benar, sehingga pupnya merembes ke sprei. Baunya itu lho..amburadul nyebar ke mana-mana dan ganggu banget.

Memang sih, ada perawat yang rajin gantiin sprei bekas pup itu. Cuman ya itu aja, kalau ketahuan sama pasien lainnya, kan nggak enak sama baunya, hihihihi..

Untungnya saya berhasil nenangin ibunya si pasien X, supaya jangan bawa paksa anaknya pulang. Saya bilang bahwa saya sudah menjadwalkan pasien Y untuk dipindahkan ke ruang opname lain karena ada prosedur yang harus kami lakukan, jadi malam itu pasien X nggak perlu tidur sebelahan dekat pasien Y lagi. Kesiyan kan, pasien X itu sebenarnya belum sembuh, tapi mosok mau minta pulang cuman gara-gara nggak betah tidur di sebelah pasien lain yang pup sembarangan? :-p

Saya yakin kalau kejadian ini bisa aja menimpa Anda. Kadang-kadang Anda nggak bisa nolak nasib, sakit bikin harus diopname, dan Anda terpaksa tidur berbagi kamar dengan pasien lain. Dan pasien lain mungkin situasinya menyebalkan, entah karena dia berisik, atau dia bau, atau dia kebanyakan penjenguknya, dan lain-lain.

Ada macem-macem cara supaya Anda nggak perlu dirawat bareng pasien tetangga yang rese. Caranya gini lho:
1. Gunakan radio mini, atau kalau Anda punya HP yang ada speaker-nya, boleh dicoba. Putarlah lagu keras-keras, lebih bagus lagi kalau lagunya dari genre music yang nggak disukai pasien tetangga, misalnya lagu Keong Racun, atau lagunya ST 12, atau lagunya Ridho Rhoma.
2. Minta bala bantuan teman-teman buat menjenguk Anda. Jangan barengan, tapi bergiliran. Dan cobalah tiap kali Anda dibesuk, Anda menyambutnya dengan lebay. “Eeh..Jeng Siti, apa kabaar..? Lama deh nggak ketemuuu..! Aduuh, pake bawa oleh-oleh segala, mbok ya nggak usah repot-repoot..! Aduh, aduh, aduuh..ini oleh-olehnya mau taruh mana yaa..? Maap Jeng, lha abis kamar saya sempiit..!”
Tentu saja ada resiko cara di atas bikin Anda malah dimarahin suster karena dianggap bikin gaduh, hihihi.. Jadi kalau Anda merasa cara-cara audio di atas terlalu norak, cobalah pakai cara halus.
3. Bilang gini ke pasien tetangga, “Eh, Pak, tahu nggak, Pak? Kalau dirawatnya di sayap seberang, perawatnya baik lho. Tiap pagi pasti ditawarin mau makan steak atau mau makan spageti, terus tiap sore pasti perawatnya kasih bonus cokelat Kit Kat. Nggak kayak di sini, pagi siang makanannya bubur melulu.. Coba deh Bapak pindah ke sana, pasti Bapak seneng deh..”
4. Boleh juga dengan memberdayakan aroma. Minta keluarga Anda bawa obat nyamuk dari rumah. Lebih bagus lagi kalau obat nyamuk itu pakai aroma yang nyegrak buanget. Malem-malem pas mau tidur, semprot obat nyamuk di seluruh ruangan, termasuk juga sisi tempat tidur pasien tetangga. Nanti kalau pasien tetangga batuk-batuk, Anda tinggal ngeles, “Aduh, maaf ya, Pak, soalnya saya biasa di rumah pake semprot nyamuk, jadinya saya nggak bisa tidur kalau belum pakai obat nyamuk..”

Gambarnya ngambil dari sini

July 28, 2010

Bergaya di Tempat Ngadem

Filed under: Gimme a break — Vicky Laurentina @ 8:45 pm

Nggak ngerti saya kesambit apa, tapi hari Minggu kemaren pas lagi luntang-lantung di festival jalanan di Braga, saya mutusin buat jalan-jalan ke museum. Ya know, saya bukan penggemar sejarah, terutama kalau itu tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang saya suka; saya seneng dateng ke museum karena alasan yang simple aja: cari AC yang gratis. Makanya saya sebel banget kalau saya dateng ke museum yang nggak ada AC-nya, hehehe. Anda sama sekali tidak bisa bayangin, Bandung sepanas apa sekarang.

Betul-betul ironis banget orang-orang macem saya ini, yang cuman memperlakukan museum sebagai tempat buat ngadem. Tapi ya itu nggak lepas dari sikap para pengelola museum, yang umumnya masih setengah hati dalam mengurus museum. Coba Anda pikir-pikir, sebutkan dua kata yang pertama kali terlintas di kepala Anda kalau denger kata museum. Satu, barang kuno. Dua, sarang laba-laba. Tiga, nggak gaul ah. Eh, itu tiga kata.

Nah, untungnya berhubung tahun 2010 ini adalah tahun kunjungan museum, maka para pengurus museum di Indonesia lagi seneng-senengnya promosi sana-sini supaya orang mau dateng ke museum. Ada banyak banget kegiatan yang sekarang lagi diumbar, supaya orang nggak semata-mata dateng ke museum cuman buat ngadem atau buat karyawisata. Beberapa museum sekarang rela ngorbanin beberapa ruangannya buat dijadiin tempat pameran, yang umumnya pamerannya nggak ada hubungannya sama tema museumnya sama sekali. Ada juga yang nyewain ruangan buat dijadiin tempat presentasi software open source. Beberapa bahkan mengkaryakan lapangan parkir buat dijadiin kafe yang jual makanan elite-elite. Kenapa dijualnya dengan harga mahal? Justru kesannya supaya museumnya nampak bonafid.

Museum yang saya sambangin ini namanya Museum Konferensi Asia Afrika. Sebenarnya museum ini nggak melulu nyimpen barang-barang kuno. Malah, kalau saya itung-itung, jumlah barang kuno yang dipamerin di sini nggak sampek 25%-nya. Museum ini sebenarnya malah lebih mirip galeri buat masangin foto-foto peristiwa Konferensi Asia Afrika di Bandung pada wangsa 1955. Batin saya, ini cara murah-meriah buat bikin museum. Suatu hari saya juga mau bikin Museum Vicky Laurentina. Isinya adalah foto-foto saya dari kecil sampek dewasa, lengkap dengan cerita-ceritanya di masing-masing tahun. Tinggal tata foto-foto itu dalam galeri dengan penatacahayaan yang ciamik dan interior yang artistic, maka jadilah museum. Narsis! *wink*

Saya mutusin bahwa kali ini saya nggak akan motret barang-barang di dalam museum, coz kalau mau promosi museum kayaknya udah basi. Tapi sebagai orang yang seneng ngeliatin orang lain, maka saya motret kelakuannya orang-orang yang pergi ke museum. Seperti pada foto-foto yang saya pajang ini. Ada pengunjungnya yang seneng motret display, sampek semua-semua yang ada di dalam museum itu dia potret. Ya bola dunianya, ya mesin ketik kunonya, ya patung-patungnya. Mungkin Anda termasuk jenis orang kayak gini. Sebenarnya motret ginian buat apa sih? Kalau udah sampek rumah, tuh foto hasil jepretan diliatin lagi, nggak?

Saya juga seneng lihat orang ke museum gayanya mulai modis-modis. Nggak melulu anak-anak sekolah dengan seragam sambil nyatet barang-barang yang menurut saya lebih mirip tukang inventaris, tapi saya lihat cewek-cewek sexy dengan hot pants dan sepatu sandal suede dengan tekun melototin setiap foto yang dipasang di galeri. Tahukah Anda bahwa banyak orang seneng pacaran di museum? Perpaduan antara AC yang dingin, interior museum yang elegan, dan bertebarnya barang-barang pamer yang merangsang intelegensia, bikin suasana pacaran makin gimanaa..gitu. Nasehat kecil saya, kalau Anda kepingin nampak intelek di hadapan orang yang lagi Anda pe-de-ka-te-in, ajaklah kencan ke museum. Kalau Anda kepingin kencan di siang hari yang nggak bikin make-up Anda cepet luntur, pergilah ke museum.

Saya juga seneng museum sekarang mulai melengkapi tempat-tempat pamerannya dengan alat-alat canggih. Komputer-komputeran yang dipasangin multimedia di sini bisa kasih pengunjung informasi tentang hal-hal yang menarik yang mungkin sulit diungkapkan dengan barang pajangan. Meskipun menurut pengalaman saya pribadi, kayaknya nggak semua pengunjung tertarik buat ngulik semua informasi yang ada dalam multimedia itu. Tapi cukuplah buat bikin pengunjungnya terkesan. Jaman sekarang, apa yang bisa tampil cuman dengan bermodal mouse atau touch screen, selalu aja bikin pengunjung takjub.

Yang lucu, pas saya lagi motret-motret begini, tahu-tahu terdengar suara dari loudspeaker, “Pengunjung dilarang memotret di area selain area patung!”
Ya oloh..maksudnya supaya nggak ada yang mereproduksi gambar-gambar display-nya museum buat dipasang di media massa ya? Saya kan bukan mau motret display-nya museum, saya cuman mau motret orang-orang yang dateng ke museum aja.. :-p

July 27, 2010

Percuma Dikasih Penari

Filed under: features — Vicky Laurentina @ 5:04 pm

Satu hal yang bikin saya rada empet nonton kontes-kontes nyanyi di tivi, entah itu Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, Mamma Mia, atau entah apa lagi, adalah penarinya. Yang kadang-kadang menurut saya, penarinya itu justru merusak penampilan penyanyinya. Bukan mau bilang penarinya jelek ya, menurut saya sih tariannya itu bagus, penarinya juga cantik, tapi kadang-kadang saya cuman lihat penarinya tuh sebagai tempelan. Alhasil kontestan yang nyanyi, dengan para penari tuh suka nggak nyambung, gitu lho.

Nggak semua penyanyi kontes itu dikasih penari. Biasanya alasan dikasih penari itu untuk mempermanis pertunjukan, bikin gereget suasana, bikin makna lagu menjadi eksis, dan sebagainya. Tujuan awalnya sih itu.

Tapi pada pelaksanaannya, kadang-kadang penyanyi dan penari itu jadi nggak nyambung pas di pentas. Kelihatanlah dari gestur penyanyinya; saat penari berlenggak-lenggok lincah, penyanyi nampak hanya bergoyang a la kadarnya di antara para penari, atau lebih parah lagi, penyanyi pura-pura berjalan menghampiri penonton sehingga meninggalkan penari yang menari di tengah panggung. Ini cukup sering terjadi pada kontes-kontesan, di mana biasanya seorang kontestan cuman dikasih waktu seminggu untuk mempelajari suatu lagu yang akan dinyanyikan. Artinya hanya seminggu buat ngapalin lagu, latihan suara, dan latihan koreografi. Artinya juga cuman seminggu untuk latihan bersama penari-penari yang biasanya sudah diadakan oleh panitia (kan nggak mungkin toh pesertanya bawa penari sendiri dari rumah). Padahal agak sulit kan membangun chemistry dengan penari yang sebelumnya tidak pernah kita kenal, apalagi hanya dalam seminggu?

Saya respek dengan Agnes Monica, Shanty, Dewi Sandra, dan penyanyi-penyanyi lain yang biasa bawa penari sendiri kalau manggung. Nyata dalam tiap performa mereka, mereka sudah nyiapin pertunjukan itu dengan berlatih jauh-jauh hari sebelumnya. Latihan itu juga termasuk bikin gerakan yang serasi antara penyanyi dan para penarinya, sehingga antara penyanyi dan para penari itu terjadi suatu kesatuan. Bukan sekedar menjadikan para penari latar sebagai pelengkap, bukan juga membuat para penyanyi yang aselinya suaranya fals jadi rada “mewah” karena dikasih penari.

Pada kontes-kontes memang sulit mengharapkan kontestan penyanyi rada nyambung sama penari, coz seperti yang saya bilang tadi, susah membangun chemistry antara penyanyi dan para penari hanya dalam tempo seminggu. Makanya saya pikir mendingan kalau kontes-kontes gitu, nggak usah dikasih penari latar aja sekalian. Karena penari bisa jadi senjata pemanis, sebaliknya bisa pula jadi bumerang. Kesiyan kan, penyanyi-penyanyi kontes yang sudah capek-capek nyanyi dengan suara merdu, bisa kurang SMS-nya gara-gara disuruh menari dengan penari yang nggak nyambung dengannya.

Older Posts »

Blog at WordPress.com.